Jumat, 26 Juni 2015

Analisis Transaksional

Pengertian 
Analisis Transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk digunakan dalam terapi kelompok. Analisis Transaksional berbeda dengan sebagian besar terapi lain dalam arti ia adalah suatu terapi kontraktual dan desisional. Analisis Transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat klien, yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arah proses terapi. Analisis Transaksional juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien, dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru. Analisis Transaksional menekan aspek-aspek kognitif rasional-behavioral dan berorentasi kepada peningkatan kesadaran sehingga klien akan mampu membuat putusan-putusan baru dan mengubah cara hidupnya.

B.     Konsep-konsep Utama
1.    Pandangan tentang sifat manusia
Analisis Transaksional berakar pada suatu filsafat yang antideterministik serta menekankan bahwa manusia sanggup melampaui pengondisian dan pemograman awal. Di samping itu, Analisis Transaksional berpijak pada asumsi-asumsi bahwa orang-orang sanggup memahami putusan-putusan masa lampaunya dan bahwa orang-orang mampu memilih untuk memutuskan ulang. 
2.    Perwakilan-perwakilan Ego
Analisis Transaksional adalah suatu sistem terapi yang berlandaskan teori kepribadian yang menggunakan tiga pola tingkah laku atau perwakilan ego yang terpisah: Orang Tua, Orang Dewasa, dan Anak.
a)    Ego Orang Tua
Ego Orang Tua adalah bagian dari kepribadian yang merupakan introyeksi dari orang tua atau dari substitusi orang tua. Ego Orang Tua berisi perintah-perintah “harus” dan “semestinya”. Orang tua dalam diri kita bisa “Orang Tua Pemelihara” atau “Orang Tua Pengeritik”.
b)   Ego Orang Dewasa
Ego Orang Dewasa adalah pengolahan data dan informasi. Ia tidak emosional dan tidak menghakimi, tetapi menangani fakta-fakta dan kenyataan eksternal. Berdasarkan informasi yang tersedia, ego Orang Dewasa menghasilkan pemecahan yang paling baik bagi masalah tertentu.
c)    Ego Anak
Berisi perasaan-perasaan, dorongan-dorongan, dan tindakan-tindakan spontan. “Anak” yang ada dalam diri kita bisa berupa “Anak Alamiah”, “Profesor Cilik”, atau berupa “Anak yang Disesuaikan”.
3.    Skenario-skenario kehidupan dan posisi-posisi psikologis dasar
Skenario-skenario kehidupan adalah ajaran-ajaran orang tua yang kita pelajari dan putusan-putusan awal yang dibuat oleh kita sebagai anak, yang selanjutnya dibawa oleh kita sebagai orang dewasa. Berkaitan dengan konsep-konsep skenario kehidupan, pesan-pesan dan perintah-perintah orang tua, dan putusan-putusan dini itu, adalah konsep dalam Analasis Transaksional tentang empat posisi dasar dalam hidup:
a)    “Saya OK – Kamu OK”
Dalam posisi tersebut dua orang merasa seperti pemenang dan bisa menjalin hubungan langsung yang terbuka.
b)   “Saya OK – Kamu Tidak OK”
Dalam posisi ini adalah posisi orang-orang yang memproyeksikan masalah-masalahnya kepada orang lain dan mempermasalahkan orang lain.
c)     “Saya Tidak OK – Kamu OK”
Dalam posisi ini adalah posisi orang yang mengalami depresi, yang merasa tak kuasa dibanding dengan orang lain, dan yang cenderung menarik diri atau lebih suka memenuhi keinginan orang lain ketimbang keingina sendiri.
d)   “Saya Tidak Ok – Kamu Tidak OK”
Posisi ini adalah posisi orang-orang yang menyingkirkan semua harapan, yang kehilangan minta hidup, dan yang melihat hisup sebagai tidak mengandung harapan.
4.    Kebutuhan manusia akan belaian
Orang-orang ingin dibelai, baik secara fisik maupun secara emosional. Belaian yang positif adalah esensial bagi perkembangan pribadi yang sehat secara psikologis dengan perasaan OK. Belaian-belaian yang positif, yang bisa berbentuk ungkapan-ungkapan afeksi atau penghargaan, bisa disalurkan melalui kata-kata, elusan, pandangan atau mimik muka.
Belaian yang negatif oleh orang tua mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan anak. Belaian-belaian negatif mengambil bentuk pesan-pesan (verbal dan nonverbal) yang merampas kehormatan dan menyebabkan seseorang merasa di kesampingkan dan tak berarti.
5.    Permainan-permainan yang kita mainkan
Para pendukung Analisis Transaksional mendorong orang-orang untuk mengenali dan memahami perwakilan-perwakilan ego-nya. Alasannya adalah, dengan mengakui ketiga perwakilan ego itu, orang-orang bisa membebaskan diri dari putusan-putusan Anak yang telah usang dan dari pesan-pesan Orang Tua yang irasional yang menyulitkan kehidupan mereka. Analisis Transaksional mengajari orang bagian mana yang sebaiknya digunakan untuk membuat putusan-putusan yang penting bagi kehidupannya.

C.    Teknik-teknik Terapeutik
Menurut Corey secara umum teknik-teknik yang dapat dipilih dan diterapkan dalam terapi analisis transaksional, yaitu:
1.    Permission (pemberian kesempatan), dalam proses terapi, pemberian kesempatan ini diberikan kepada kilen agar dapat;
a)      Menggunakan waktunya secara efektif tanpa melakukan ritual pengunduran diri
b)      Mengalami semua status ego yang biasanya dilakukan dengan mendorong klin menggunakan kemampuan Status Ego Dewasa untuk menikmati kehidupan
c)      Tidak memainkan permainan dengan cara tidak membiarkan klien memainkannya.
2.    Protection (proteksi), klien mungkin akan merasa ketakutan setelah ia menerima kesempatan untuk menghentikan perintah-perintah orang tua dan menggunakan Status Ego Dewasa dan Status Ego Anak.
3.    Potency (potensi), maksudnya seorang terapis tahu apa yang akan dilakukan dan kapan melakukannya. Oleh karena itu kemampuan terapis terletak pada keahliannya, sehingga keterampilan tersebut efektif secara optimal.
Menurut Berne ada beberapa teknik khusus yang dapat dipakai dalam proses terapi, yaitu: interogasi, spesifikasi, konfrontasi, eksplanasi, illustrasi, konfirmasi, interprestasi, kristalisasi.

Studi kasus 1


Contoh kasus penerapan analisis transaksional di sekolah

Banyak laporan, terutama dari praktioner (penganut) AT, bahwa AT berhasil dengan memuaskan. Banyak klien yang telah disembuhkan dengan cara ini, serta “decak kagum “ pun dialamatkan pada temuan Berne ini. Terbentuknya perhimpunan AT, ITAA, dan terbitnya jurnal AT membuktikan bahwa AT sebagai suatu pendekatan yang sudah besar dan berkembang luas dikalangan ahli terapi.

Persoalan sekarang, apakah keberhasilan AT ini dapat pula diterapkan disekolah, terutama di sekolah kita Indonesia yang berlandaskan filsafat Pancasila? Persoalan ini tidaklah sederhana. Keterampilan AT pada klinik Psikologi boleh jadi cocok atau boleh jadi tidak. Penerapan yang tepat meminta uji coba yang cukup matang.

Secara rasional, keberhasilan AT di klinik-klinik Psikoterapi mungkin sekali kita rekrut ke sekolah. Malah kita lebih optimis lagi, karena dapat mengamati langsung perubahan klien di luar ruangan konseling. Betapa tidak, titik sentral dari analisisnya terletak pada transaksi. Selama klien masih berada di sekolah, selama itu pula kita dapat menganalisis transaksinya baik dengan temannya atau gurunya.

Lebih optimis lagi, bahwa AT dapat berhasil bila digunakan sebagai penyuluh kelompok. Karena orang yang sehat kreteria AT adalah yang punya perasaan bebas untuk menentukan pilihannya. Transaksi yang digunakan adalah terciptanya transaksi antar status ego Dewasa. Kemungkinan tumbuh dan berkembang transaksi antar ego Dewasa ini lebih besar dengan teman sebaya. Jadi kondisi ini memungkinkan konselor menerapkan AT sebagai penyuluh kelompok di sekolah.

Kondisi sekolah yang menunjang penerapan AT sebagai pendekatan penyuluhan kelompok ini, justru sebaliknya bagi penyuluh individual. Harapan agar komunikasi atau transaksi antara konselor – klien dapat terbentuk transaksi antara ego state dewasa-dewasa, justru sulit terbina. Karena adanya jarak antara Konselor dengan Klien. Jarak itu adalah faktor usia. Konselor lebih cenderung jauh lebih tua dari klien yang siswa ( 12 – 15 untuk SMTP, 15 – 19 tahun untuk SMTA). Karena itu transaksi yang mungkin sering muncul adalah antara ego state Dewasa (Konselor) – Anak-anak (Pada siswa).

Kondisi ini ditopang oleh faktor budaya kita. Indonesia sebagai bangsa yang berlandaskan pada Pancasila bukanlah negara yang berfaham Liberal. Adat dan sopan santun ketimuran selalu melengket pada masyarakat Indonesia. Cara berbicara dengan orang yang sama besar atau lebih kecil tidak sama dengan cara berbicara dengan orang yang dihormati dan atau lebih besar. Pada beberapa daerah, bahasa yang digunakanpun juga berbeda, lebih halus dan lembut. Karena itu, keberhasilan AT pada masyarakat Amerika yang egaliter belim tentu bisa sama dengan masyarakat kita.

Kelompok 

Kelompok
Intan Sylvia Febra Arini 13512758
Inka Novansyah 13512734
Gama Evayanti 13512089


Sumber